
Part 7 – The Last Country, Myanmar (Khawthaung / Pulau Dua)
Inilah perjalanan yang paling menegangkan selama misi ‘Menyemai Berkah hingga Asia Tenggara’ kali ini. Negara yang pernah lama dalam cengkeraman sosialis dan militer tersebut memang dikenal sangat tidak bersahabat dengan Islam.
Di Myanmar kami berkunjung ke saudara-saudara muslim yang tinggal di daerah Khawthaung atau Pulau Dua. Mayoritas penduduknya adalah etnis melayu, sebagiannya lagi ada yang datang dari Pakistan, India, Bangladesh dan tentunya juga penduduk asli Myanmar.
Tidak mudah memang untuk sampai ke pulau ini. Dari Bangkok kami bertolak menuju Provinsi Ranong, bagian paling selatan negara Thailand. Penerbamgan ke sana hanya sekali saja dalam sehari, menggunakan pesawat kecil berpenumpang 80-an orang saja, dengan memakan waktu 1.5 jam.
Perjalanan kami ditemani dua orang sahabat, yang kami panggil ‘brother’. Mereka adalah brother Yunus dan brother Abdullah. Setelah melewati check point Imigrasi, kamipun naik boat menyeberangi sungai selama 30 menit.
Walaupun negara-negara Asean telah sepakat bahwa bagi warga negara anggotanya diizinkan saling berkunjung dengan bebas tanpa visa, namun untuk sampai ke pulau ini kita harus membayar sebanyak $ 10/orang dan hanya berlaku maksimal 14 hari saja. Anehnya lagi, selama di sana pasport dipegang pihak imigrasi.
Penduduk Khawthaung berjumlah sekitar 100 riibu jiwa. Sekitar separuh dari jumlah tersebut adalah etnis melayu dan beragama Islam. Menurut sejarah, etnis Melayu yang tinggal di Khawthaung ini dulu berasal dari daerah Kedah, Malaysia.
Etnis melayu yang sekarang tinggal di Khawthaung ini terbagi dalam tiga budaya dan bahasa yang berbeda, namun semuanya beragama Islam.
1. Melayu, dengan bahasa dan budaya melayu
2. Melayu, dengan bahasa dan budaya Thai
3. Melayu, dengan bahasa dan budaya Myanmar.
Penduduk melayu Khawthaung juga terkenal sebagai perantau. Kampung halaman hanya dihuni oleh anak-anak dan orang tua. Laki-laki dan perempuan remaja dan dewasa banyak merantau ke Thailand dan Malaysia. Bahkan di provinsi Ranong Thailand, para perantau dari Khawthaung yang menetap di sana lebih banyak dari penduduk asli Ranong sendiri.
Jika orang Minang banyak yang pergi merantau karena ingin memperbaiki kualitas hidup, sementara sumber daya alam tidak memadai di kampung halaman, namun orang Melayu Khawthaung bukan. Mereka merantau karena ketakutan atas kezaliman yang mereka terima. Begitu banyak hak milik mereka yang dirampas. Tanah dan kebun-kebun sawit yang mereka tanami diambil secara paksa.
Di masa pemerintahan militer berkuasa, undang-undang ada di mulut tentara. Begitu kata mereka. Saat lebaran datang, mereka mudik sejenak dan kemudian kembali lagi ke perantauan. (bersambung)
*Catatan Ustadz Muhammad Saleh Zulfahmi, Lc., MA – Pimpinan Perguruan Islam Ar Risalah
Editor: Harun AR
#PPDB Luar Negeri #Arrisalah keren #Ayo masuk Arrisalah